Minggu, 22 Februari 2009

Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan


Visi pemberdayaan ekonomi rakyat, dalam kebijakan ekonomi nasional dan daerah, telah menjadi salah satu item penting dalam arah pengembangan pembangunan ekonomi, hal ini merupakan sebuah kesadaran bahwa usaha kecil dan menengah di Indonesia menunjukkan suatu kekuatan yang signifikan dalam perekonomian nasional. Kementerian Negara koperasi dan UKM tahun 2000 mencatat bahwa pelaku usaha kecil menengah dan koperasi ini mencapai 36 juta unit usaha dan menyerap usia produktif yang bekerja 99,6 %, dan secara hipotesis bisa mencapai 140 juta orang. Kegiatan-kegiatan usaha ini meliputi semua sektor ekonomi, primer dan skunder, tersier, distribusi barang dan perdagangan secara umum, kegiatan jasa dan lain-lain.
UKM dan Koperasi merupakan solusi bagi warga Negara (rakyat) untuk bertahan hidup, hal ini dipertegas oleh Todaro dalam bukunya pembangunan ekonomi di dunia ketiga, hampir 40 % penduduk perkotaan di Negara berkembang bekerja pada sektor informal (usaha kecil), seperti pada usaha montir, menyemir sepatu, tukang cukur, tukang sampah, pedagang kaki lima, pedagang kelontong, juru potret dan lain-lain. Hal ini terjadi kerena pertumbuhan manufaktur dan sektor formal lainnya tidak mampu menyerap pertumbuhan penduduk. Masyarakat perkotaan tidak memiliki kesempatan kerja yang memadai dalam sektor informal maka dengan sendirinya untuk bertahan hidup terpaksa bekerja atau melakukan usaha sebagai pedagang kaki lima di trotoar jalan dan tempat-tempat keramaian lainnya.
Mencermati kekuatan dan potensi usaha kecil menengah dan koperasi tersebut pemerintah berusaha agar pelaku usaha ini tetap tumbuh dan berkembang melalui perhatian pemerintah khususnya pada perhatian permodalan, fasilitasi pemasaran, kondisi usaha kapasiti building sumber daya manusia dan kepastian hukum yang memadai untuk menjaga perekonomian ini bisa berjalan secara baik.
Tapi terkadang kebijakan pemberdayaan ekonomi rakyat yang tertuang dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah dalam bentuk Rencana pembangunan jangka panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Program Tahunan tidak sama dengan tindakan pembangunan. Artinya pemberdayaan ekonomi rakyat sebagai salah satu strategi prioritas dalam perencanaan pembangunan namun perhatian serius diberikan kepada pelaku usaha besar (investor) dan konglomerasi. Apa fakta hal ini ?. Jawaban fakta ini tentu saja mencengangkan kita bersama, kenapa ? karena disatu sisi sebagian kita setuju dengan kebijakan ini namun sesunggunya memberikan dampak negatife bagi pelaku usaha kecil dan menengah bangsa kita. Fakta itu adalah : pembangunan kebun-kebun besar, tambang-tambang besar dan mall dan supermarket oleh group nasional dan multinasional bahkan pemberian kredit dalam skala besar kepada pelaku usaha besar.
Pertanyaannya adalah kenapa ini yang menjadi tindakan ekonomi oleh pengambil kebijakan?. Jawabannya tentu ada pada pengambil kebijakan yang memberikan kesempatan kepada pelaku usaha besar tersebut. Sehingga kemudian dalam konteks ini bisa dikatakan bahwa ada inkonsistensi, apa yang diungkapkan dalam dokumen perencanaan dengan tindakan kebijakan, dalam bahasa agama “tidak jujur, tidak baik hati” dan seterusnya……
Apa yang terjadi kemudian ? yang terjadi kemudian adalah assets-assets produktif strategis akhirnya dikuasai oleh individu, group dan corporasi multinasional. Kenyataan ini tidak lagi bisa kita pungkiri karena globaliasi ekonomi pada tahap 3 seperti yang diungkapkan oleh Tom Fredman, sejak tahun 1992 ini memang ditandai dengan penguasaan ekonomi dan politik pada sebuah bangsa dengan beberapa ciri diantaranya adalah pelaku ekonomi merupakan perusahaan multinasional, group dan individu yang menguasai teknologi dan komunikasi dan menempatkan usahanya di Negara berkembang dalam bentuk cabang, franchising, jaraingan lembaga swadaya masyarakat internasional dan hampir batas antar negara tidak ada.
Dalam bahasa lain adalah globalisasi ekonomi yang terjadi hari merupakan suatu kenyataan. Reaksi kita atas globalisasi itu adalah membuka diri seluas-luasnya untuk dinikmati oleh pelaku multinasional, dan individu asing, dan kadang kala terpaksa melakukan itu untuk maksud awal sebagai kemaslahatan rakyat yang lebih besar diantaranya adalah dalam usaha untuk mengurangi pengangguran dan kemiskinan serta mempercepat pertumbuhan atau sebagai daya dorong untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah. Namun apakah kemudian pilihan tindakan kebijakan yang dilakukan itu “tepat” ?.
Cenderung pelaku usaha besar mengambil potensi ekonomi kita yang bernilai tinggi, katakanlah letak ruang perkotaan yang strategis. Yustika (2007) mengutarakan secara gamblang dalam bukunya perekonomian Indonesia Pasca krisis tentang fenomena ini “Pemerintah kota mengangap pelaku sektor informal sebagai penyebab munculnya kekacauan kota dan kriminalitas kota. Dan lebih nyaman dengan pelaku besar dan formal yang sudah tentu mendatang pendapatan yang tinggi terhadap penerimaan asli daerah (PAD) dan tidak menampakkan kesan jorok. Kota didikte oleh kemauan usahawan yang besar yang berkolaborasi dengan pengambil kebijakan tingkat daerah, pola ini hampir seragam diseluruh Indonesia”. Pola ini menimbulkan dampak negatif terhadap palaku usaha kecil di sekitar lokasi itu ribuan yang kemudian gulung tikar karena segmentasi pasar supermarket dengan pasar usaha kecil mikro di Pasar itu hampir sama. dan pada saat yang sama pelaku usaha kecil digusur oleh petugas ketertiban kota dan kabupaten dari lokasi trotoar.
Termasuk juga sektor pertanian dan perkebunan, petani kita terpaksa menebangi hutan lindung atau menanami tanaman pada lahan-lahan kritis dan kemiringan tinggi. Inilah dampak langsung dari tindakan kebijakan yang memprioritaskan pelaku usaha besar. Dalam lain perkataan bahwa tindakan kebijakan pembangunan justru akhirnya menjaga agar kemiskinan masyarakat kita tetap terjaga dengan kokoh. Mudah-mudahan hal ini kita bisa sadari namun jika belum barangkali perlu direnungi dan dipikirka secara benar. Pendekatan yang bisa dilakukan adalah dengan menggunakan naluri hati nurani kemanusian sebagai tugas kekhalifaan dimuka bumi. Dan kemudian jika kebenaran itu belum juga ditemukan maka perlu pendekatan rasional dan mencoba memikirkan fenomena ini dalam persfektif kemanusiaan dan keadilan. Artinya adalah kelompok lemah dan miskin itu adalah kelompok yang perlu dibantu sebagaimana perintah Tuhan kita dalam Q:s Al-Maa-uun, 107 ayat 1 - 7, Al-Ra’du ayat 11…bahwa sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaannya. Ayat ini mejelaskan bahwa sesungguhnya tugas memakmurkan bangsa ini adalah menjadi tangggung jawab kita sendiri bukan diserahkan kepada kaum konglomerasi internasional. Sejarah juga mencatat sejak penjajahan di masa dahulu, sampai penjajahan model baru (new kolonialisme) dalam bentuk penguasaan pasar dan potensi ekonomi negara ini oleh kelompok group corporasi internasional selalu saja merugikan bangsa kita.
Mencermati faktor lingkungan eksternal yang begitu kuat mempengaruhi perekonomian kita tentu saja kita berusaha agar pencapaian pembangunan kita haruslah unggul, benefit diatas rata-rata, harga diri dan mempertinggi standar kelayakan hidup kemanusiaan penduduk. Alangkah mulianya pimpinan kita hari ini jika berusaha untuk mengurangi hastrat untuk menguasai sejumlah rupiah untuk mempertinggi standar hidup dan pristise diri dan keluarganya. Dan merubahnya menjadi mempertinggi harkat dan martabat kemanusian suku-suku di daerah dalam konteks Republik Indonesia. Banyak usaha-usaha yang mulia bisa dilakukan secara ekonomi diantaranya adalah :
Pertama, mesti ada komitmen pimpinan dan para pemegang kekuasaan untuk memperankan dirinya sebagai pengontrol Negara dan penggerak Negara ke arah jalan yang tepat. Mengontrol keingingan dan hastrat untuk memiliki kesenangan yang berlebihan sebagai mana dilarang dalam ajaran oleh kitab suci kita, membelanjakan dana publik pada pembelanjaan barang modal yang produktif termasuk alokasi dana pendidikan yang memadai untuk anak usia sekolah dan perguruan tinggi termasuk beasiswa 5 % dari total dana publik untuk anak keluarga miskin ke Perguruan Tinggi.
Kedua, Perlunya pengakuan yang lebih nyata atas modal yang dimiliki oleh rakyat dalam bentuk hak kepemilikan (property right) atas tanah ulayat, bangunan dalam bentuk representative assets dengan pemberian sertifikat lahan, ijin bangunan dan surat resmi usaha secar gratis, sehingga bisa digunakan dalam pemberian kredit usaha kepada pelaku usaha kecil. perlunya land reform atas kepemilikan lahan erpach bekas penjajah belanda dan tanah-tanah yang kosong.
Ketiga, Lalu kemudian masyarakat yang akan makmur perlu disiapkan suatu sistem pembelajaran masyarakat yang memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk selalu membelanjakan uang-uangnya untuk assets yang nilainya akan selalu bertambah dan bukan berkurang. Perlunya komitmen yang kuat dari masyarakat untuk mengurangi konsumsi yang tidak penting seperti merokok namun menggunakan kekayaan (uang) yang dimiliki untuk membeli buku anak sekolah atau bibit-bibit tanaman bagi petani, biaya pendidikan menambah keterampilan bagi pekerja dan biaya penambahan modal kerja bagi pedagang kaki lima. Sumber : Yulhendri – Dosen FE – UNP